Konten Multimedia

Konten Multimedia

Warung Internet di desa pegunungan itu tak pernah sepi. Dari 12 kamar yang tersedia, tak satu pun kosong. Pelanggannya anak-anak muda, pelajar sekolah menengah. “Mereka main games, boleh bertaruh antarkamar, tapi tak boleh buka situs porno,” kata penjaga warung. “Saya matikan komputernya kalau ada yang buka situs porno.”

Pengawasan ketat ini berkaitan dengan kontrol yang juga sering dilakukan polisi kecamatan. Cuma, yang mengherankan penjaga warung, baru-baru ini ada permintaan polisi agar pelanggan yang membuka Facebook juga dilarang. Alasannya, banyak “penculikan anak” yang berlatar belakang Internet. Untungnya, kata penjaga warung, anak-anak muda itu hampir tak pernah buka Facebook. “Hare gini main Facebook di Internet? Kan ada HP Cina yang murah untuk Facebook-an,” kata seorang anak.

Jika seluruh warung Internet bisa diawasi seperti itu, Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Konten Multimedia tak diperlukan. Cukup polisi yang rajin memantau dan pemilik warung yang ketat mengawasi. Namun itu tentu tak mungkin. Di kecamatan pelosok itu hanya ada dua warung Internet. Bagaimana bisa mengawasi warung Internet di perkotaan yang ada di setiap sudut? Berapa banyak polisi yang dibutuhkan untuk itu? Lagi pula persaingan antar-warung Internet tak memungkinkan ada kontrol content.

Apa pun alasannya, saya yakin kontrol terhadap content multimedia yang hendak dilakukan oleh pemerintah tak akan jalan. Dua menteri komunikasi dan informatika sebelum Tifatul Sembiring, yakni Sofyan Djalil dan Muhammad Nuh, saya kira cukup cerdas untuk memasukkan ke laci rancangan itu, apalagi ia dibuat oleh stafnya dengan semangat “pegawai departemen penerangan”, lembaga sensor kelas wahid era Orde Baru. Apa yang membuat Tifatul, menteri yang gemar berpantun ini, membuka laci itu kembali? “Daun talas melayang ke onak, alasannya sayang sama anak-anak.”

Tifatul mengulang kesalahan berpikir pemrakarsa Undang-Undang tentang Pornografi. Hanya dengan alasan melindungi generasi muda dari kebejatan moral akibat pornografi, semua aurat--wanita, yang laki tidak--harus ditutupi. Lalu ada kekecualian, misalnya jika berkaitan dengan adat, agama, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Content multimedia ini pun nantinya ada kekecualian, misalnya, jika menyangkut situs yang menjurus ke buka-bukaan, boleh di kawasan ilmu pengetahuan, di dunia kedokteran, atau boleh diakses orang dewasa dengan batasan umur--seolah-olah semua syahwat orang dewasa tak lagi “aktif”.

Kita menuju ke mana? Beberapa negara memang ada yang membatasi content multimedia sehingga dijuluki negara “musuh Internet”. Misalnya Cina, Kuba, Mesir, Iran, Arab Saudi, dan beberapa lainnya. Pembatasan bisa tidak pada content yang sama, misalnya yang satu menekankan pornografi, lainnya soal politik atau agama. Google di Cina konon tak bisa digunakan untuk mencari content tragedi Tiananmen 1989, kemerdekaan Tibet, atau Falun Gong. Apakah pemerintah suatu saat akan membatasi pencarian content “tragedi 30 September 1965” atau “terbunuhnya Munir” atau “kasus Bank Century”? Siapa tahu, kalau dicoba pembatasan yang “kecil-kecil” dulu tanpa ada reaksi, “kasus besar” bisa saja diselundupkan.

Jadi, Pak Menteri Tifatul, “ke Patrol menjelang senja, kontrol multimedia sangat sia-sia”. Lebih baik jalankan undang-undang yang sudah ada, dan pengawasan diserahkan kepada keluarga. Kalaupun dipaksakan, “nasi putih di Bukittinggi, bebek panggang di Senayan, sayur lodeh di Madiun”. Artinya--ini bukan pantun--ya, sia-sia juga, bagaimana makannya?
Previous
Next Post »